KEBERPIHAKAN JURNALISTIK
Oleh : Fetiyani
Yuniana Ismawarsari
Staf Departemen PKIM UKMF LIMLARTS
Jurnalistik di Indonesia
telah merambah di semua daerah dan memiliki varian yang banyak. Semua pembaca
bebas memilih media yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Namun, warta di
media jurnalistik telah dicampuri oleh berbagai pihak yang menyebabkan hasil liputan
sudah tidak netral lagi. Segi politik uang sangat mendominasi keberadaan
jurnalistik di Indonesia. Kasus suap media telah banyak dilakukan. Semua itu
terjadi disebabkan oleh adamya resiko yang akan diterima jurnalis apabila
mereka menolak masuknya sogokan di
berita mereka. Lingkungan memaksa mereka untuk bertindak tidak jujur.
Jurnalistik di Indonesia
memiliki berbagai permasalahan yang membutuhkan penangan yang memadai oleh
semua pihak. Lunturnya nilai-nilai kejujuran dalan dunia jurnalistik juga terjadi.
Hal tersebut menyebabnya terlukisnya goresan hitam putih kelabu kebenaran isi
media. Laku komersial terjadi di mana-mana.
Menurut
Yusuf (2010) berdasarkan konsepsi “baku” etika jurnalisme, dalam pemberitaan
konflik, media yang diwakili oleh jurnalis dituntut berada dalam “situasi
tengah” antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Beberapa pandangan meneguhkan
bahwa tugas jurnalis yang utama adalah menjalankan profesi secara independen
dengan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik. Jurnalis juga tidak boleh memihak
salah satu pihak atau hanya menyuarakan pihak tertentu dan menafikan keberadaan
pihak lain. Karena itu jurnalis tidak boleh membawa kepentingan salah satu
pihak yang bertikai. Semua pihak memiliki hak yang sama atas akses informasi.
Pendek
kata, peran ideal seorang jurnalis dalam memberitakan konflik adalah
menjalankan tugas profesional. Saat bertugas, jurnalis memiliki komitmen untuk
mencari berita dan menginformasikannya kepada pembaca sesuai standar teknis dan
etika jurnalistik. Untuk memenuhi tuntutan profesionalisme itu, sekali lagi
jurnalis harus selalu menjaga sikap netral, objektif, berimbang, akurat, dan
benar sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak
(Burns, 2002: 22-24).
Menurut Obet (2013) mengatakan bahwa
fenomena konglomerasi media juga bisa kita jumpai di Indonesia.
Zulhasril Nasir dalam disertasinya berjudul Perubahan Struktur Media Massa
Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi, Kajian Media Politik-Ekonomi
menyebutkan, bahwa Kelompok Kompas Gremedia Grup (KKG) dan Kelompok Jawa Pos (KJP) adalah dua kelompok
besar di antara 24 kelompok media massa di Indonesia. KKG mengendalikan 15
surat kabar, 14 tabloid, 19 majalah, 5 stasiun radio, 1 stasiun televisi,
disamping 3 perusahaan multimedia, 5 penerbitan, 1 percetakan dan 5 kedai buku.
KKG, bahkan menginvestasikan modalnya di bidang perhotelan di 10 kota besar,
dan mengelola industri rotan dan kertas. Sementara KJP, memiliki 107 media, dan Media Indonesia memiliki 14 perusahaan media, termasuk
sebuah stasiun televisi dan hotel bertaraf internasional di Bali (Nasir, 2004).
Komposisi kepemilikan media elektronik
(stasiun TV), Agus Sudibyo dalam Ekonomi Politik Media Penyiaran (2004)
mengungkapkan, bahwa RCTI dimiliki Bambang Trihatmodjo. Para pemegang saham
SCTV, adalah Henry Pribadi dan Sudwikatmono (adik tiri Soeharto)
serta Halimah Trihatmodjo (menantu Soeharto). TPI dimiliki oleh Tutut. Saat
Tutut menjabat sebagai Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia
(PRSSNI) juga menancapkan pengaruhnya yang luar biasa pada sektor bisnis radio
komersial. Indosiar dimiliki oleh Salim Grup, kelompok bisnis yang dimiliki
oleh Liem Sioe Liong (kroni Soeharto). Hanya ANTV(1993) yang tidak punya
kaitan langsung dengan Cendana. Stasiun televisi ini dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono, tokoh Golkar. Dalam bisnis media, Bob Hasan memegang hak monopoli suplai kertas
Koran lewat PT Aspex Papers (Sudibyo, 2004:16). Selanjutnya, kita akan
bertanya-tanya bagaimana mungkin media akan bersikap netral dan fair terhadap semua pihak jika pemiliknya
adalah obyek yang harus dikontrol
Netralitas media sebagai corong suara
rakyat mendapat kecaman dari banyak kalangan, Chomsky seperti dikutip oleh
David Cogswell (melalui Obet, 2013) menyatakan bahwa media adalah sistem ’pasar
yang terpimpin’, disetir oleh profit dan dipandu oleh pemerintah. Hal ini
menandakan bahwa media tidak lagi netral.
Kapitalisme sebagai
sebuah nilai dalam relasinya dengan organisasi media dan jurnalis, secara
teoritik dapat dilihat dalam dua sudut pandang utama. Pertama, bisa saja ia
berpengaruh dalam konteks arus produksi, distribusi dan konsumsinya ketika
ketahanan sosial, politik, moral dari organisasi media dan profesi jurnalis
mengalami reduksi sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai atau orientasi
independen yang dimilikinya menjadi keniscayaan. Kedua, sudut pandang ini bisa
tidak berlaku, manakala ketahanan internal dan eksternalnya secara minimal
mampu untuk untuk membendung arus nilai kapitalisme yang menyentuhnya.
Secara empirik,
akibat terlalu kuatnya sistem nilai kapitalisme, maka organisasi media dan
jurnalis hanya akan menjadi robot yang berwujud pada prinsip taktik strategi
semata dari perilaku-perilaku kapitalisme. Keberadaan organisasi media sebagai
organisasi yang otonom, independen, lepas dari intervensi dan hegemoni sistem
kapitalisme sulit untuk diwujudkan. Begitu juga halnya dengan jurnalis, juga
banyak terkooptasi secara relatif terhadap mainstream kapitalisme.
Seorang jurnalis
mungkin saja menulis dan mengungkapkan fakta-fakta mengenai keterbelakangan,
kemiskinan, dan penindasan, yang terlihat seolah-olah telah berfihak pada
kepentingan rakyat kecil, namun semua itu hanya di permukaannya saja. Dengan
kata lain, belum menyentuh secara mendasar dari perilaku ideologis jurnalis
yang seharusnya memerdekakan rakyat kecil dari belenggu kapitalisme.
Profesionalisme
sebagai sebuah ketahanan intenal tidak banyak menjamin intervensi sistem nilai
yang lebih besar di atasnya, yakni sistem kapitalisme. Bisa saja kita semua
hari ini adalah ”korban-korban” dari sistem nilai kapitalisme itu sendiri. Yang
utama, bagaimana memposisikan dan menempatkan isi berita yang dimuat di media
massa tidak menjadi satu pendapat saja, tapi lebih dari pada itu
memposisikannya sebagai public
sphere untuk berdialog,
memaknainya, dan merekonstruksi secara menyeluruh dan mendalam serta
menghidupkannya dalam atmosfer dialektika tekstual. Jika tidak, kita semua
hanya akan menjadi objek dari arus besar agenda setting media massa dari sistem
ideologi kapitalisme yang semakin hari semakin membuat kita gerah karenanya.
Ekonomi politik
adalah studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. Dalam
pendekatan ekonomi politik, media massa di Indonesia dikontrol oleh pengusaha
pemilik media. Konsekuensi dari kondisi ini adalah bahwa ideologi komoditas
merupakan ideologi yang bekerja dalam menghasilkan media. Di Indonesia, seluruh
kekuasaan negara yaitu: eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa
sebagai “the fourth estate” dikuasai oleh pengusaha/ pemilik kapital/
kapitalis. Medium komunikasi memiliki andil besar dalam menciptakan kondisi
sosial masyarakat. Teknologi Informasi dan globalisasi telah ‘memaksa’
masyarakat Indonesia melompat dari periode lisan ke periode elektronik dan
melewati periode ‘tulisan”. Periode tulisan yang melahirkan budaya membaca dan
merangkum pengetahuan ‘terlewatkan’ dari masyarakat kita.
Menurut
Zainul (2012) mengatakan bahwa pencitraan umat Islam di dua media harian Kompas
dan Republika dari penelitian yang dilakukan Suf Kasman, menghasilkan adannya
perbedaan yang mencolok dari cara pemberitaan kedua harian tersebut.Hal ini
dapat dilihat, bagaimana image,
stereotype, perjudice, devenition of the situation, dan frame dibentuk oleh harian tersebut.
Menurut Yusuf (2010) dengan melihat perbedaan dasar paradigma dan
perspektif jurnalisme, bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan berpihak
dalam meliput dan memberitakan konflik? Dimulai dari kewajiban wartawan
memahami dan mempraktikkan jurnalisme profesional dengan menepati prinsip
objektivitas pemberitaan. Kemudian setelah standar dasar jurnalisme tersebut
terpenuhi, wartawan hendaknya menerapkan jurnalisme damai dalam setiap
pemberitaan konflik yang ditulisnya sehingga kontroversi tidak berlangsung
berlarut-larut tanpa arah penyelesaian. Selanjutnya, agar berita yang disajikan
kepada pembaca mampu mengungkap realitas konflik secara komprehensif, wartawan
juga perlu bereksperimen kreatif dengan teknk peliputan ala jurnalisme
investigasi. Dan sebagai titik puncak dari “perjalanan menentukan keberpihakan”
ini, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus yang melibatkan
kepentingan masyarakat luas, jurnalis berkewajiban menerapkan jurnalisme publik
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Daftar
Pustaka :
Obet. 2013
Menggugat Keberpihakan Media Mainstream dalam Kapitalisme.
Diunduh dari http://koranpembebasan.wordpress.com/2013/06/26/menggugat-keberpihakan-media-mainstream-dalam-kapitalisme/
pada 30 Oktober 2013 pukul 13.29
Yudanto. FIK UNY. Materi: Jenis Karya Ilmiah
Comments
Post a Comment