ESSAI : PENELITIAN SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) UNTUK PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DALAM MEMBENTUK GENERASI MELEK SAINS

PENELITIAN SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) UNTUK PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DALAM MEMBENTUK
GENERASI MELEK SAINS
Oleh :
Azhar Nasih Ulwan  
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
Mutu pendidikan, khususnya pendidikan sains di Indonesia, masih menjadi isu hangat dalam berbagai pertemuan ilmiah. Hal ini disebabkan rendahnya kualitas pendidikan sains di Indonesia yang dibuktikan oleh survei atau penelitian di tingkat internasional. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS, 2007) melaporkan bahwa kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-36 dari 49 negara. Padahal tetangga sebelah, yakni Malaysia menduduki peringkat 20. (http://litbang.kemdikbud.go.id). Tentu ini menjadi prihatin bangsa dan menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh pendidikan kita, sehingga mutu yang dihasilkan tergolong rendah?
Selidik punya selidik, rupanya pendidikan di Indonesia yang seharusnya bertujuan untuk mencerdaskan bangsa belum sepenuhnya menuju kearah tersebut. Masih banyak praktik pendidikan di Indonesia yang terbatas hanya pada pengembangan kognitif, sedangkan afektif dan skill sering terabaikan. Tak hanya itu, potensi kognitif pun seringkali terkungkung dengan proses pendidikan yang hanya dievaluasi menggunakan soal pilihan ganda atau soal yang menuntut jawaban pasti. Proses pendidikan yang condong untuk menuntut siswa berfikir kritis masih sangat minim ditunjang oleh pendidikan kita. Sebut saja Ujian Nasional, dengan tipe soal seluruhnya pilihan ganda akan sangat berpotensi untuk mengajarkan siswa berbuat gambling. Berbeda halnya jika kita memberikan soal esai atau aplikatif, siswa akan lebih berekspresi sehingga kemampuan kognitif dalam dirinya akan tereksplor dan berkembang. Inilah penyebab rendahnya kualitas pendidikan kita bila ditinjau dari survei internasional tersebut.
Masalah lainnya yang dialami bangsa Indonesia adalah rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, polusi udara, yang kesemuanya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat. Semua kegiatan masyarakat yang kurang bertanggungjawab terhadap lingkungan diduga akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini dapat disebabkan karena pembelajaran di sekolah kurang bisa menanamkan nilai-nilai untuk mengaplikasikan konsep yang diterima ke dalam kehidupan nyata.
Hasil evaluasi kurikulum 1994 SLTP pada mata pelajaran sains yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud menunjukkan bahwa 1) sebagian besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep sains dalam kehidupan nyata 2) pengajaran tidak menitikberatkan pada prinsip bahwa sains mencakup pemahaman konsep, dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. (kemdikbud.go.id).
Dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan (textbookish). Dengan kata lain pembelajaran di sekolah menjadi kering dan tidak bermakna bagi siswa.
Pendidikan pada dasarnya memiliki fungsi kembar, yakni untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif dan di sisi lain untuk menciptakan perubahan inovatif. Dengan fungsi kembar itu, maka sistem pendidikan asli suatu masyarakat memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Perkembangan pendidikan sains sangat terdorong oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan sains formal seperti diajarkan di lingkungan pendidikan sekolah. Sementara di lingkungan masyarakat tradisional terbangun pengetahuan asli berbentuk pesan, adat istiadat yang diyakini oleh masyarakatnya dan disampaikan secara turun temurun tentang bagaimana harus bersikap terhadap alam. Bentuk pengetahuan ini tidak terstruktur secara sistematis dalam bentuk kurikulum yang diimplementasikan dalam pendidikan formal. Melainkan berbentuk pesan, amanat yang disampaikan secara turun temurun di suatu masyarakat adat seperti cara memelihara hutan dengan memberlakukan hutan larangan.
Masyarakat adat memiliki strategi memelihara hutan, memelihara plasma nutfah dan lain sebagainya. Hingga kini dalam pendidikan formal di sekolah, kearifan alam seperti itu belum banyak terungkap. Pendidikan sains formal lebih berkonsentrasi pada upaya beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan bercermin pada pola pendidikan sains di negara maju.
Selama ini, pendidikan tradisional lebih banyak disampaikan dalam bentuk peribahasa, pantang larang dan simbol budaya seperti beragam upacara adat yang semuanya mengandung isyarat-isyarat untuk dipikirkan. Padahal, semakin berkembangnya masyarakat kini, seringkali media pendidikan tradisional semakin pudar. Pendidikan sains besar sekali perannya dalam melatih dan mengasah daya nalar untuk mencari kaitan sebab akibat, menyimpulkan, mengelaborasi, menggali nilai. Melalui pendidikan sains di sekolahlah yang dapat menanggulangi terputusnya pendidikan tradisional yang semakin minim disampaikan dalam struktur masyarakat.
Agar adat istiadat yang berupa kearifan terhadap alam ini tidak punah, maka pengetahuan asli masyarakat perlu ditanamkan dan disosialisasikan kepada generasi penerus melalui proses pendidikan sains dalam konteks budaya. Oleh karena itu, perlu adanya implementasi pengenalan sains dalam kebudayaan masyarakat atau yang dikenal dengan sains asli (indigenous sains) dalam pembelajaran di sekolah.
Jika implementasi sains asli tidak segera terlaksana, proses pendidikan pada kedua konteks itu (masyarakat dan sekolah) tidak mustahil akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat fatal di masa depan, generasi muda akan semakin jauh dari akar budaya sendiri. Kehilangan jati diri karena terus mengejar pencapaian pendidikan negara lain yang akar budayanya belum tentu sejalan dengan budaya Indonesia.
Kritik pendidikan sains di negara maju, pendidikan sains dan praktek pengajarannya tidak menawarkan siswa untuk kontak dengan kegiatan sains secara dekat. Siswa tidak pernah bertemu ilmuwan, mengamati sains yang sedang dilakukan di laboratorium, melihat contoh tulisan ilmiah professional, mengetahui penggunaan fungsi sosialnya, serta tidak pernah kontak dengan peralatan, proses, praktek, dan realitas sosial ekonomi sains sebagai kegiatan manusia. Keseluruhan konteks dalam kehidupan sehari hari itu, jarang sekali ditemukan dalam pendidikan sains formal di sekolah, karena pendidikan sains lebih sering mengajarkan pemahaman konsep imliah dari pada mengambangkan pemahaman ilmiah, sehingga gagal mengajarkan pemahaman ilmiah dalam dunia nyata.
Sains asli dalam masyarakat dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sains di sekolah melalui pembelajaran muatan lokal. Hal ini dinilai tepat, karena seringkali pembelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah menyimpang dari apa yang diharapkan. Seringkali sekolah mengejar prestige pelajaran yang di ajarkan dalam pembelajaran muatan lokal ketimbang memilih pembelajaran sarat akan kearifan lokal. Contohnya saja, pembelajaran muatan lokal yang dipilih sebuah sekolah di pelosok daerah adalah bahasa perancis, lantas bagaiman korelasinya dengan aplikasi bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menyajikan pembelajaran muatan lokal berbasis indigenous sains perlu dilakukan penelitian mendalam mengenai ilmu yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Selain mengembangkan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan di kelas ke dalam kehidupan nyata, penelitian sains asli dapat menyelamatkan masyarakat dari belenggu kebodohan yang selama ini mengungkung. Belenggu tersebut berbagai rupa jenisnya, seperti kepercayaan terhadap benda keramat, mitos, ritual-ritual yang tak bermakna dan lain sebagainya. Adapun kerangka konseptual penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


Sains Masyawakat
 
     Gambar 1. Kerangka konseptual penelitian
Melalui penelitian sains asli (indigenous sains) diharapkan mampu menunjang pembelajaran muatan lokal berbasis sains budaya. Akhirnya siswa tidak hanya sekedar kritis terhadap permasalahan lingkungan (masyarakat) dengan berbekal pengetahuan dari sekolah, melainkan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari sekolah. Inilah yang disebut generasi melek sains, bukan generasi pengekor yang diibaratkan bagai keledai yang memiliki tumpukan buku akan tetapi tidak tahu apa manfaat buku tersebut. Sama halnya seorang siswa yang memiliki banyak ilmu tetapi tidak tahu untuk apa ilmu yang dimilikinya.
Jika pendidikan kita mengarah ke ranah pembentukan generasi melek sains, maka pendidikan kita bukan sekedar pendidikan yang mengungkung siswa dalam keterbatasan paradigma a, b, c, d, dan e, tetapi paradigma siswa kritis dan aplikatif. Jika seperti itu, dapat diprediksi kualitas pendidikan kita akan meningkat. Bukan tidak mungkin bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan dihormati karena kualitas pendidikannya. Semoga.


DAFTAR PUSTAKA

Rumbrawer, Frans. Memanfaatkan Kearifan Lokal (Etnosains) Untuk Mencegah Konflik Sosial Di Tanah Papua. Pusat Studi Etnosains Papua (PuSEPa) Uncen, Abepura, 1.10.2013

Suastra, I Wayan. Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) Dalam Upaya Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal Di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005.

Sudarmin dan Rayandra A. Transformasi Pengetahuan Sains Tradisional menjadi Sains Ilmiah dalam Proses Produksi Jamu Tradisional. Jurnal Edu-Sains Volume 1 No.1, 2012, Jambi.


http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-timss. diunduh pada tanggal 7 Oktober pukul 21.24 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

ESSAI : Krisis Moral :Dunia Pendidikan sebagai Ujung Tombak Character Building dalam Menemukan Jati Diri Bangsa

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #3 2019

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #4 2020 (DARING)