ESSAI : Pena Estafet untuk Kemajuan Indonesia

Sub tema : pendidikan dan penelitian dalam upaya memajukan Indonesia

Pena Estafet untuk Kemajuan Indonesia
Oleh: Lailla Khusnul Khotimah
(peserta lomba esai ukmf limlarts)

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
(Chairil Anwar - Karawang-Bekasi)

            Membaca beberapa bait puisi karya Chairil Anwar di atas, ingatan kita seakan diputar  kembali pada puluhan tahun silam, ketika para pejuang bangsa rela mengorbankan masa muda mereka. Pengorbanan yang besar untuk membangun strategi dan benteng-benteng pertahanan demi negara yang dicintainya ini. Sekarang, Indonesia sudah merdeka. Indonesia bisa berdiri tegak, bahkan bersaing dengan dunia.
            Tongkat estafet pasca proklamasi sudah diserahkan. Kini, barisan pemuda-pemudi berjajar rapi bersiaga menerima tongkatnya. Sebuah tongkat berisi amanah untuk memajukan Indonesia. Tidak.  Kali ini tidak perlu meneteskan darah, apalagi nyawa untuk meraihnya.

Dari bambu runcing hingga sebuah pena
            Perjuangan meraih kemerdekaan tidak semudah menulis di atas kertas. Tidak terhitung berapa banyak darah yang tumpah demi tercapainya sebuah identitas kemerdekaan yang nyata. Kata siapa, kita, mahasiswa, sudah terbebas dari kewajibannya berperang seiring dengan bebasnya kita dari para penjajah? Suka atau tidak suka dan sadar atau tidak sadar, tongkat estafet untuk mempertahankan Indonesia sudah diberikan, tepat ketika Bung Karno membacakan hasil ketikan Sayuti Melik di hadapan seluruh masyarakat Indonesia.
            Jika perjuangan para pahlawan kita dahulu identik dengan pertumpahan darah dan strategi peperangan, semua itu sudah tidak berlaku lagi di zaman ini. Kunci dapat bertahan atau tidaknya negara ini justru berada di tangan kita, mahasiswa-mahasiswi yang nantinya akan memimpin Indonesia. Semakin kita mengasah kemampuan untuk meneliti dan mengimbanginya dengan bekal pendidikan cukup, akan semakin terasah pula pena yang akan menggores kertas-kertas pembawa nasib Indonesia selanjutnya.
            Para pahlawan telah menjadi pionir dan teladan bagi pemuda-pemudi. Perjuangan keras mereka dalam menumpas para penjajah dengan bambu runcing dapat menjadi pelajaran besar bagi kita. Bedanya, kita tidak perlu meniru mereka dengan membawa senjata yang serupa. Yang kita butuhkan hanya pena. Sayangnya, pena tersebut akan memberikan dampak yang sebanding dengan penggunanya. Semakin tajam cara berpikir penggunanya, maka pena dengan ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan bambu runcing tersebut akan memberikan dampak besar.
            Kini, saatnya melatih generasi muda, mahasiswa-mahasiswi untuk menggunakan pena tersebut. Tentunya, dengan bekal pendidikan yang cukup disertai kemampuan meneliti sebagai sarana mengasah kemampuan berpikir, goresan pena tersebut akan memberikan kontribusi maksimal bagi negeri ini. Pena tersebut tidak hanya akan menumpas satu-dua musuh, tetapi akan mengguncangkan negeri ini, bahkan dunia.

Pena untuk Kemajuan Indonesia
            Selain kaya akan limpahan sumber daya alam, Indonesia juga diberi kelimpahan sumber daya manusia dengan potensi tersembunyi. Orang tua berlomba-lomba mengantarkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi, minimal menembus strata satu agar kelak anak-anak yang dilahirkan di bumi pertiwi ini tidak hanya bisa membuat mereka bangga, tetapi juga mampu memberikan timbal balik bagi bangsanya sendiri.
            Setiap tahunnya, lulusan dari ratusan perguruan tinggi di Indonesia kian bertambah. Lulusan dengan kualitas dan pola pikir yang jauh lebih baik dibandingkan mereka beberapa tahun sebelumnya. Perguruan tinggi telah mengasah pola pikir mereka agar tidak hanya lulus dengan bekal pengetahuan sesuai jurusannya, tetapi juga dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah di negeri ini dan menemukan solusinya.
            Sayangnya, budaya di Indonesia tidak dapat disamakan dengan budaya negara maju lainnya yang berbasis menulis dan meneliti, meskipun ada pula peneliti dan penulis muda yang lahir dan besar di sini. Budaya berbicara lebih mendominasi di Indonesia. Sebenarnya tidak ada masalah selagi budaya berbicara tidak hanya sekadar kata-kata tetapi disertai langkah realisasi. Namun, pada kenyataannya  banyak yang hanya berbicara dan berkomentar tanpa bergerak, apalagi turun tangan. Mengubah budaya berbicara menjadi budaya menulis dan meneliti membutuhkan usaha dan proses yang panjang. Itu berarti mindset-mindset lama mengenai budaya berbicara yang dinilai lebih berwibawa, perlahan-lahan harus digeser.
           
Menyalakan kembali semangat penelitian mahasiswa-mahasiswi Indonesia
            Keberhasilan pejuang Indonesia dalam meraih kemerdekaan bukan karena poster-poster dan coretan di dinding yang berisi semangat untuk menyulut rasa nasionalisme pemuda-pemudanya. Juga bukan karena teriakan-teriakan yang dielu-elukan ketika orasi. Bukan pula karena rencana-rencana semu yang tersusun matang. Perubahan dan kemerdekaan bisa diraih karena perjuangan, dan untuk memperjuangkan sesuatu dibutuhkan tindakan nyata.
            Ibarat tanaman yang tidak akan tumbuh jika tidak diberi air, dipupuk dan disiram dengan teratur, maka mahasiswa sepandai apa pun, jika tidak diberi asupan semangat kecintaannya pada dunia penelitian tidak akan tertarik, apalagi berkecimpung di dalamnya. Jutaan generasi muda, baik yang masih menimba ilmu atau lulusan perguruan tinggi membutuhkan pompaan semangat dan motivasi dari berbagai arah demi tertanamnya sikap cinta meneliti. Semangat mereka harus disulut sejak dini agar tertarik dengan dunia penelitian.

Pentingnya penelitian dalam usaha memajukan Indonesia
            Barangkali masih ada yang berpikir apa gunanya sebuah penelitian untuk bangsa yang sudah memiliki cendekiawan dan para pemimpin yang sudah bisa dikatakan mampu menangani keberagaman di Indonesia. Namun, tidak sadarkah kita bahwa tidak ada jaminan bahwa perkembangan dunia tidak akan mempengaruhi stabilitas negeri ini?
            Para akademisi maupun lulusan perguruan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir yang jauh lebih matang dalam menghadapi suatu masalah. Bekal meneliti sangat diperlukan mengingat negara ini bukanlah negara yang statis dan selalu mengalami perkembangan. Setiap masalah baru membutuhkan solusi yang baru pula, sehingga rasa kritis perlu dikembangkan dan terus diasah.
            Agar dapat menentukan solusi yang jitu dalam mengatasi berbagai problem, maka perlu asahan cara berpikir pemuda-pemudi. Tidak hanya mahasiswa maupun akademisi, semua orang bisa memberi solusi. Namun, tentunya kualitas solusi tersebut akan berbeda. Bagi para mahasiswa, solusi yang diberikan harus cerdas dan tidak hanya sekadar dapat diterapkan, tetapi juga memberikan nilai plus. Untuk memperoleh hasil maksimal, penelitian diperlukan guna menemukan solusi terbaik diantara sekian banyak solusi.
            Solusi cerdas tidak akan lahir begitu saja tanpa ada kemampuan berpikir yang kritis dan nalar yang baik. Oleh karena itu, pendidikan memiliki andil besar dalam melatih mahasiswa dalam berpikir, sekaligus melatih rasa kritisnya.

Menanti lahirnya peneliti-peneliti muda yang berpendidikan
            Indonesia butuh generasi terdidik dengan mental peneliti, tidak lagi butuh tetesan-tetesan darah. Dengan itu, mereka akan membuat Indonesia setara dengan negara besar lainnya. Melalui kemampuan dan kepekaannya, masalah bangsa ini yang kian lama kian pelik dapat dicari solusinya. 
            Indonesia butuh generasi terdidik dengan mental peneliti, tidak lagi butuh tetesan-tetesan darah. Dengan itu, mereka akan membawa perubahan besar dan inovatif, sekalipun akan ada banyak tantangan. Namun bukankah perubahan besar selalu sebanding dengan tantangan yang diberikan?
            Indonesia butuh generasi terdidik dengan mental peneliti, tidak lagi butuh tetesan-tetesan darah. Untuk mencapai semua itu, Indonesia bisa mencapainya dengan pena. Ya. Hanya pena. Bukan darah.
Indonesia tidak butuh darah. Indonesia butuh generasi bermental kuat yang cerdas dan terdidik. Generasi yang  bukan hanya cerdas dalam materi, namun dibekali kemampuan untuk peka terhadap kondisi negerinya. Semangat meneliti akan menjembatani mereka untuk semakin paham akan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia. Bukan hanya sekadar meneliti dan mempublikasikan hasil, tapi juga bergerak nyata. Berani terjun langsung dan tidak hanya memerintah. Para generasi cerdas dan terdidik dengan prestasi cemerlang yang dapat diaplikasikan pada Indonesia. Lagipula, untuk apa semua prestasi, ilmu, dan beragam deretan angka sempurna itu kalau semuanya sama sekali tidak bisa membawa perubahan bagi negeri ini?



Comments

Popular posts from this blog

ESSAI : Krisis Moral :Dunia Pendidikan sebagai Ujung Tombak Character Building dalam Menemukan Jati Diri Bangsa

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #3 2019

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #4 2020 (DARING)