ESSAI Krisis Moral :Dunia Pendidikan sebagai Ujung Tombak Character Building dalam Menemukan Jati Diri Bangsa
Krisis
Moral :Dunia Pendidikan sebagai Ujung Tombak Character Building dalam Menemukan
Jati Diri Bangsa
Oleh
Kurnia Dwi Sari Utami
(peserta lomba esai dari Universitas Brawijaya)
(peserta lomba esai dari Universitas Brawijaya)
Hakekat pendidikan adalah sebagai proses pemerdekaan
individu dalam kehidupan sosialnya. Dalam perkembangan kehidupan manusia pendidikan
justru mengekang dan masih banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Terkait dengan hal
tesebut keprihatinan dari banyak tokoh pendidikan diungkapkan dalam banyak kesempatan
dan rentang waktu yang panjang pada masa lalu dan terusakan menjadi isu yang
penting dimasa yang akan datang. Ki Hajar Dewantara misalnya prihatin terhadap
system pedidikan colonial menganggap pendidikan
yang baik hanya diperuntukkan bagi anak-anak kaum penguasa. Selanjutnya Romo Mangun
melihat bahwa system pendidikan yang
kaku telah membelenggu peserta didik . Demikian pula Tilaar mengatakan
“anak-anak miskin dilarang sekolah” semboyan yang tepat buat kaum miskin yang
tertindas.
Rousseu mengusulkan suatu system pendidikan yang sesuai
dengan kodrat manusia . Ia melihat bahwa kebebasan manusia sejak lahir telah terkekang
dan terikat disetiap kehidupannya. John Dewey memandang kehidupan adalah perubahan.
Ketika kita memilih maka kitaberpikir. Pendidikan hendaknya mengembangkan kekuatan
peserta didik.
Pemikir revolusioner pendidikan Michel Foucault
memberikan bentuk pemikiran bahwa manusia sebagai individu yang merdeka dan bukan
sebagai tubuh-tubuh jinak oleh tekanan politik menuju kepada individu yang
merdeka yang mampu menentukan nasibnya sendiri dalam proses pembentukan diri sebagai
subjektis. Pengaruh pendapatnya erat kaitannya dengan lahirnya apa yang disebut
dengan pedagogis kritis atau pedagogif tranformatif.
Pedagogik kritis mengupayakan suatu reformasi di
dalam proses pendidikan yang menghasilkan kesamaan, keadilan, dan pengakuan atas
hak asasi manusia yang setara. Tugas pendidik bukan hanya mengajar di depan kelas,
tetapi hendaknya membentuk suatu kekuatan untuk melawan berbagai kekuatan yang
mengontrol lembaga pendidikan. Para
pendidik harus membantu peserta didik untuk mengetahui akan identitasnya. Para
pendidik harus aktif dalam dialog kritis mengenai keadaan politik, sosial,
ekonomi yang berkaitan dengan pembaharuan pendidikan.
Foucault menjelaskan
bahwa tujuan dari proses mengajar adalah menimbulkan dialog dan bukan sekedar transmisi
dengan paksaan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Pendidik seharusnya menghormati
dan menjunjung tinggi adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Kebenaran bukan
hanya datang dari satu arah.
Dalam era globalisasi saat ini, pendidikan merupakan kebutuhan
penting bagi suatu bangsa dan faktor utama untuk mencapai tenaga kerja yang
terampil dan mandiri. Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
kualitas sumberdaya manusia Indonesia untuk menghadapi proses globalisasi di hamper
semua aspek kehidupan dalam persaingan kemajuan ilmu pengetahuan danteknologi.
Menjadi pendidik di era global yang serba instan, hedonism, dan penuh degradasi
moral seakan menjadi buah simalakama. Betapa tidak, sejumlah konflik social antar
masyarakat serta perkelahian antar pelajar dan kekerasan lingkungan sekolah merebak
dimana-mana yang menunjukkan kegagalan pendidikan kita.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap
manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan
sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan
bahkan akan terbelakang.Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, disamping memiliki budi
pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Suatu pendidikan dipandang bermutu yang diukur dari kedudukannya
sehingga ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah
pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral,
dan berkepribadian.
Krisis multidimensional merupakan masalah besar yang
sedang dihadapi bangsa Indonesia. Tantangan bagi dunia pendidikan dengan melihat
karakter bangsa baik secara moral maupun
etika yang telah berada pada titik nadir serta penegakan hukum yang tidak jelas
dan konsekuen merupakan penghambat bagi pembangunan karakter bangsa.
Definisi Pendidikan karakter berarti suatu proses pertimbangan dalam mendidik orang agar
mengerti akan sesuatu, memiliki kepedulian, dan melakukan suatu tindakan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan etika dalam masyarakat. Alasan mendasar
sangat urgennya pendidikan karakter karena manusia hidup dalam lingkungan dan budaya
tertentu, maka perkembangan karakter seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan social dan budaya yang
bersangkutan.
Pendidikan di Indonesia lebih mengedepankan penguasaan
aspek keilmuan dan kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan berkarakter. Pengetahuan terkait kaidah moral
yang diperoleh dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini tidak
menjadi prioritas yang utama. Sebagian besar orang beranggapan bahwa tidak perlu
memperhatikan pendidikan karakter sehingga berdampak pada perilaku anak bangsa sekarang.
Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat.
Pendidikan karakter penting sebagai penyeimbang kecakapan
kognitif (kecerdasan intelektual). Beberapa kenyataan yang menjadi fenomena saat ini seperti seorang
pengusaha kaya namun tidak dermawan, seorang politikus melanggar janji politisnya,
atau seorang guru menjadi tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak berkesempatan
memperoleh pendidikan merupakan bukti tidak terbentuknya keseimbangan pendidikan
kognitif dengan pendidikan karakter.
Manusia memiliki karakter bawaan, namun tidak berarti
karakter tersebut tidak dapat diubah. Perubahan
karakter membutuhkan suatu perjuangan yang sangat berat, Suatu latihan secara terus-menerus
untuk menjiwai nilai-nilai yang baik dan tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar.
Menurut Steven R Covey dalam “Seven Habbit”
sikap kesungguhan dapat dilihat dengan pengambilan inisiatif dan tanggung jawab
secara sadar, berperilaku atas dasar nilai bukan atas dasar perasaan dan dukungan
sosial.
Karakter pemarah, karakter pemalas, karakter tukang ngaret,
karakter defensif, karakter pembohong, karakter pembual, karakter egois,
karakter konpulsif, karakter penakut, karakter depresif, karakter manipulatuf,
dan beribu-ribu karakter lainnya semua bisa dirubah. Saat tiap-tiap manusia mau
belajar untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya, kemudian memperbaiki kelemahannya
serta memunculkan kebiasaan positif maka hal inilah yang disebut karakter.
Indikator pembangunan karakter dapat dilihat dengan tercapai
atau tidaknya kebiasaan masyarakat atau bangsa kearah yang lebih positif dan berguna
bagi dirinya, keluarga, serta lingkungannya. Pegembangan karakter merupakan tanggung
jawab pribadi karena tiap personal tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakternya
yang buruk. Karakter tidak dapat diwariskan, karakter tidak bisa di beli, dan karakter
tidak bisa ditukar melainkan haruslah dibangun dan dikembangkan secara sadar dari
hari ke hari melalui proses panjang dan tidak instan.
Karakter yang berkualitas adalah sebuah respon yang
sudah teruji berkali-kali dan berbuah kemenangan. Seseorang yang berkali-kali
melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada
kualitas yang tidak diuji. Oleh karenanya, jika ingin berkualitas, tidak ada cara
yang lebih ampuh kecuali ujian. Ujian bisa berbentuk tantangan, tekanan,
kesulitan, penderitaan, hal-hal yang sangat tidak disukai. Apabila berhasil melewatinya,
bukan hanya sekali tetapi berkali-kali maka individu ini akan memiliki kualitas
tersebut.
Comments
Post a Comment