Resensi Buku



Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien & Pak Harto


Sumber Gambar: http://solusibuku.com/buku-651-falsafah-cinta-sejati-ibu-tien--pak-harto.html

Penulis                 : Ira Tri Onggo
Tahun Terbit        : 2013
Kota Terbit          : Yogyakarta
Penerbit                : Indoliterasi
Jumlah Halaman  : 270
Ukuran buku        : 140 x 200 mm
ISBN                    : 978-602-7900-44-8

Pak Harto merupakan anak kaum tani yang terlahir di Godean, Yogyakarta. Bertemu dengan Ibu Tien pertama kali ketika bersekolah di Wonogiri, Jawa Tengah. Ibu Tien merupakan anak bangsawan keturunan Mangkunagara III yang lahir di Desa Jaten, Surakarta. Keduanya menikah pada 26 Desember 1947 di Solo, dengan usia Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam anak dari perkawinannya. Keenamnya menyebabkan Pak Harto dan Bu Tien makin bahagia dan selalu berusaha mempertahankan rumah tangganya hingga usia perkawinan 49 tahun.
Waktu muda, Pak Harto meniti karier militernya. Hal ini menyebabkan semenjak menjadi pasangan muda, mereka sering berpisah. Tugas negara menyebabkan Bu Tien harus merelakan suaminya pergi menjalankan panggilan negara.
Tahun 1967, Soeharto secara aklamasi diangkat menjadi presiden menggantikan Presiden Soekarno melalui Sidang Istimewa MPRS. Sebagai Ibu Negara di Indonesia, Ibu Tien mengemban banyak tugas. Selain membenahi istana negara menjadi lebih bernuansa kebudayaan Indonesia, Ibu Tien juga menggagas berdirinya Dharma Wanita, Rumah Sakit Anak dan Bersalin di Jalan S Parman Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah, dan Taman Wisata Mekarsari. Ibu Tien merupakan sosok yang peduli dengan sosial masyarakat Indonesia, terutama kaum wanita.
Tempat-tempat favorit dan penuh kenangan pasangan ini antara lain Taman Mini Indonesia Indah; Dalem Kalitan yang merupakan rumah tempat Presiden Soeharto dan keluarganya beristirahat ketika berkunjung ke Solo; rumah di Cendana yang merupakan “pusat pemerintahan” tidak resmi; Tapos yaitu lahan peternakan di Jawa Barat; dan Taman Wisata Mekarsari atas prakarsa Ibu Tien yang ingin meningkatkan harkat dan martabat kaum tani melalui pembangunan industri pertanian yang kuat.

“Hidangan yang paling saya sukai adalah tetap lodeh buatan istri saya sendiri, atau ikan bakar atau goreng belut yang membawa kenangan di masa kanak-kanak.” (Soeharto).

“Selama ini hanya wanita yang dapat melahirkan, lah kok tidak mau melahirkan. Kita sudah dikodratkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, lah kita harus mensyukuri bahwa kita diberi hidup untuk mengandung, melahirkan, merawat, mengasuh, membina, dan mendidik anak-anak kita.” (Tien Soeharto).

If Father has made any mistakes, please forgive him.” (Siti Hardijanti Rukmana).

“Itu didikan ibunya untuk mendisiplinkan anak dan memelihara hubungan batin anak dan orangtua.” (Soeharto).

“Kami, istri dan saya, sama-sama setia, saling mencintai, penuh pengertian dan saling mempercayai.” (Soeharto).

“Kami tidak pernah makan di restoran. Menginap di rumah kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistik, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri, kering, dan tempe.” (Try Sutrisno).

“Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Pak Harto.” (Soeharto).

“Siti Hartinah Soeharto adalah sahabat Presiden (Pak Harto) yang paling sangat dipercaya.” (Dr.O.G. Roeder).

Falsafah keabadian cinta Pak Harto dan Ibu Tien berlatarbelakangkan adat Jawa karena keduanya memang berasal dari Jawa. Hal itu antara lain witing tresna jalaran saka kulina, istri sebagai estri, wanita sebagai wanita, wanita sebagai ibu, suami istri adalah garwa, aja dumeh, dan mikul dhuwur mendhem jero.
Falsafah kepemimpinan Pak Harto juga berlatarbelakangkan budaya Jawa, antara lain aja kagetan, aja gumunan dan aja dumeh; sabar atine, saleh piolahe, sareh tumindake; sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji lan menang tanpa ngasorake; sandang pangan murah, negara tenteram; rakyat hidup senang, negara tenteram; pemimpin harus tahu aspirasi rakyat; negara kuat karena dihormati negara lain; dan manajemen kenusantaraan.
Ibu Tien meninggal pada hari Minggu, tanggal 28 April 1996 pukul 05.10 di RSPAD Gatot Subroto karena serangan jantung. Pak Harto menjadi sangat bersedih kehilangan belahan jiwa. Peristirahatan terakhir Ibu Tien berada di Astana Giribangun, Solo, yang merupakan kompleks pemakaman keluarga Pura Mangkunegaran.
Sepeninggal Ibu Tien, Soeharto tidak lagi presiden sejak Kamis pagi 21 Mei 1998. Beliau memutuskan untuk lengser keprabon madeg pandhita ‘mengundurkan diri dari kedudukan presiden dan menetapkan diri menjadi orang tua yang bijaksana yang selalu bersedia memberi nasihat kepada siapa pun yang membutuhkan’.
Pak Harto menyusul belahan jiwa pada 27 Januari 2008 pukul 13.10 setelah 24 hari dirawat dokter di RSPP Jakarta. Peristirahatan terakhir beliau berada di samping istrinya, yaitu di Astana Giribangun, Solo.
(Diresensi oleh: Fetiyani Yuniana Ismawarsari, di Yogyakarta, pada 13 November 2014).

Comments

Popular posts from this blog

ESSAI : Krisis Moral :Dunia Pendidikan sebagai Ujung Tombak Character Building dalam Menemukan Jati Diri Bangsa

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #3 2019

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA POSTER ILMIAH NASIONAL #4 2020 (DARING)